Eko harus bekerja sambil sekolah setelah ibunya divonis dokter mengalami gagal ginjal.
Kabar Muslim, Semarang - Eko Adi Prasetyo (9) setiap hari harus mengayuh sepeda mininya keliling kampung di wilayah Pedurungan, Semarang. Sebuah kardus bertengger di bagian depan, isinya makaroni goreng.
Makaroni goreng adalah makanan ringan sederhana yang biasa dikonsumsi anak-anak SD. Bagi Eko, makaroni goreng itu luar biasa bernilai. Karena dengan berjualan makaroni goreng ia bisa menyambung hidupnya, ibu dan adiknya yang masih berumur 2 tahun.
Eko harus berjualan makaroni goreng karena ibunya, Dewi (30 tahun), sudah tidak sanggup berjualan keliling. Dewi terkena batu ginjal sehingga hanya bisa beraktifitas di sekitar kamar kos berukuran 3 x 3 meter.
"Ibu tak bisa kerja. Ibu sakit," kata Eko kepada Liputan6.com di Semarang, Senin (8/2/2016).
Aksi Eko itu inisiatifnya sendiri. Sejak mengetahui ibunya sakit dan hanya bisa tergolek di tempat tidur, tanpa bisa beraktifitas di rumah, Eko mengajukan diri menggantikan ibunya berjualan keliling.
"Ibu menggoreng makaroni di dapur kos yang dibuat ramai-ramai. Siang dibungkus, sore saya jual keliling," kata Eko yang pemalu ini.
Makaroni goreng adalah makanan ringan sederhana yang biasa dikonsumsi anak-anak SD. Bagi Eko, makaroni goreng itu luar biasa bernilai. Karena dengan berjualan makaroni goreng ia bisa menyambung hidupnya, ibu dan adiknya yang masih berumur 2 tahun.
Eko harus berjualan makaroni goreng karena ibunya, Dewi (30 tahun), sudah tidak sanggup berjualan keliling. Dewi terkena batu ginjal sehingga hanya bisa beraktifitas di sekitar kamar kos berukuran 3 x 3 meter.
"Ibu tak bisa kerja. Ibu sakit," kata Eko kepada Liputan6.com di Semarang, Senin (8/2/2016).
Aksi Eko itu inisiatifnya sendiri. Sejak mengetahui ibunya sakit dan hanya bisa tergolek di tempat tidur, tanpa bisa beraktifitas di rumah, Eko mengajukan diri menggantikan ibunya berjualan keliling.
"Ibu menggoreng makaroni di dapur kos yang dibuat ramai-ramai. Siang dibungkus, sore saya jual keliling," kata Eko yang pemalu ini.
Setiap harinya ia membawa bungkusan makaroni goreng itu dalam dus yang ditumpangkan di stang sepedanya. Sepeda mini itupun pemberian salah satu pelanggannya.
"Jumlahnya enggak mesti 50, kadang kurang. Ini satunya harganya Rp 1.000," kata Eko.
Eko berkeliling menyusuri jalan kampung menawarkan makroninya. Menjelang Maghrib, ia pulang, namun tidak jarang juga dia harus pulang lebih larut karena jarak yang lumayan jauh.
"Paling jauh itu sampai jembatan Bangetayu. Kadang habis makroninya, kadang enggak," kata Eko.
Perjuangan Eko diketahui seorang warga Semarang, Ika Yulianti yang kemudian menulis kisah Eko di akun Facebook miliknya. Tak disangka, postingan Ika menjadi viral dan Ika sibuk membalas ribuan pesan yang masuk terkait Eko.
"Saya cuma trenyuh aja, karena dia masih di bawah umur, tapi harus bekerja demi menghidupi keluarganya. Apalagi dia anak yatim," kata Ika Yulianti.
Ika tak menyangka postingannya meluas. Ia tak bermaksud menggalang dana atau sejenisnya. Hanya respon teman-temannya memang diluar perkiraan.
"Akut terharu, ternyata masih banyak modal sosial di negeri ini bernama kepedulian," kata Ika.
Bagi Eko, Ika Yulianti mendapat tempat khusus. Ia menyebutkan sosok Ika menjadi salah satu penyebab banyak yang mengetahui kisahnya.
"Saya ketemu dengan mbak-nya yang baik. Tapi nggak tahu kalau jadi cerita. Saya juga nggak tahu kalau sempat difoto. Mbak-nya itu sudah dua kali ke rumah. Yang kedua bawa amplop banyak, katanya titipan dari teman-temannya," kata Eko.
Eko sendiri saat ini tinggal di Jl Pedurungan Tengah IX, RT 07 RW 02 kecamatan Pedurungan, Semarang. Ayah Eko, Siswanto meninggal dunia saat Eko masih berusia 1,5 tahun.
Dewi sang ibu kemudian berusaha mencari sosok ayah untuk Eko agar tak kering kasih sayang ayah. Dari pernikahan itu lahirlah Erma (2). Malangnya, ketika Dewi masih mengandung Erma, suaminya itu pergi tanpa pamit tanpa pesan.
Bocah SD kelas 2 Asal Semarang
Ingin Jadi Tentara
Meski harus berjuang menjaga ibu dan adiknya, Eko yang saat ini duduk di kelas 2 SD Pedurungan Tengah 02tidak pernah sekalipun terpikir untuk putus sekolah. Ia tetap rajin ke sekolah.
"Kalau belajar malam harinya, terus kalo ada tes ya saya enggak jualan dulu," kata dia.
Eko mengaku sangat ingin membahagiakan ibunya. Dari seluruh profesi yang ia kenal, sosok tentara yang menarik perhatiannya. "Aku ingin jadi tentara," kata Eko.
Ia berharap suatu saat kelak bisa memberi ibunya motor agar bisa kembali berjualan bersama-sama lagi.
"Pengen punya rumah sendiri, pengen motor biar ibu bisa jualan. Sama pengen PS2 (Play Station seri2)," kata Eko.
Di rumah kos, beberapa bahan makanan bergantung di tembok karena memang sengaja dijual. Kamar sederhana itu juga berisi lemari, kasur, meja, televisi, dan beberapa rak bergantung di kamar itu.
Hujan mengiringi Imlek, Eko berpamitan kepada ibunya, ia hendak berjualan lebih awal, agar bisa pulang lebih awal. Hari ini sekolahnya libur Imlek.
"Assalamualaikum," kata Eko memberi salam sambil mengayuh sepedanya. Menembus rintik hujan kecil-kecil, Eko 'mengayuh' hidup.
sumber: Liputan6.com
0 Response to "Mengharukan, KISAH INI membuat Air Mata Menangis. Bocah Kelas 2 SD di Semarang Berjuang Hidupi Ibu dan Adiknya"
Posting Komentar