Perjalanan Muhammad Ali Hingga Menemukan Cahaya Islam

Kabar Muslim - Dicuplik dari liputan panjang majalah Tempo edisi 1 Agustus 1992.
“Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, ia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah. Ketika saya beralih agama, Tuhan ibuku tetap Tuhan saya hanya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak minum, merokok, dan mencampuri urusan orang, atau menggangu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia.”
***
Sejak awal kariernya, Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali itu, dianggap oleh banyak orang sebagai “pemuda kulit berwarna yang baik”. Dan bila kemudian ia dikenal sebagai si “mulut besar”, Clay mempunyai alasannya sendiri. “Di mana saya akan berada minggu depan,” katanya suatu ketika pada wartawan, “jika saya tidak tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada saya? Saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela atau tangga berjalan dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh — yes sir, no sir. Tapi kini saya menjadi salah satu atlet dengan bayaran tertinggi di dunia. Pikirkan itu. Pemuda kulit berwarna dari Selatan menghasilkan satu juta dolar.”
Cassius Clay adalah seorang kulit berwarna yang membuat kulit putih Amerika merasa nyaman. Sindikat yang mendukung petinju ini semua kulit putih. Kemudian, untuk pertama kalinya, di markas Clay seorang kulit hitam “jenis lain” muncul ke permukaan. Tanda-tanda munculnya “persoalan” pertama kali terjadi pada September 1963. Yaitu ketika harianPhiladelphia melaporkan bahwa Clay menghadiri rapat akbar yang diselenggarakan oleh Black Muslims di Philadelphia: “Clay tampak di tengah kerumunan sekitar lima ribu orang yang tengah mendengarkan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, yang selama tiga jam memaki-maki ras putih dan memopulerkan pemimpin-pemimpin Negro. Clay, yang datang ke situ dari Louisville, Kentucky, ada di antara mereka yang mendukung Elijah Muhammad sebagai pemimpin muslim kulit hitam di negeri itu dan di seluruh dunia yang berniat membentuk barisan tangguh untuk menentang kulit putih. Meskipun Clay waktu itu mengaku bukan seorang muslim, ia mengatakan Muhammad seorang yang hebat.”
Laporan Philadelphia meluas tanpa begitu menarik perhatian. Ketika itu Clay belum menandatangani kontrak untuk bertarung dengan Sonny Liston, dan Nation of Islam, nama asli Black Muslims, masih belum terkenal. Kemudian, pada 21 Januari 1964, Clay meninggalkan kamp latihan dan pergi dari Pantai Miami ke New York. Waktu itulah kontrak merebut kejuaraan ditandatangani.
Pertarungan sudah dekat, dan Clay kini bukan sekadar menghadiri rapat-rapat kelompok muslim itu, tapi juga berpidato. Malcolm X mendampinginya. Sampai-sampai surat kabar New York Herald Tribune menulis: “Petinju muda urakan yang merayakan ulang tahun ke-22-nya pekan lalu barangkali bukan pembawa kartu anggota masyarakat muslim. Namun, tak disangsikan, ia bersimpati pada tujuan masyarakat muslim, dan dengan kehadirannya di pertemuan itu ia memberikan gengsi pada kelompok itu. Dialah kulit hitam yang terkenal secara nasional pertama yang mengambil bagian aktif dalam gerakan Islam. Namun, ia belum mengumumkan secara resmi dukungannya pada kelompok Islam. Ia mungkin tidak akan membicarakan topik itu secara terbuka. Ia berbicara tentang pukulan-pukulannya, kecepatannya, penampilannya yang baik, tapi ia bungkam tentang gerakan itu.”
Cerita itu menghangat. Dua pekan kemudian, berkala Louisville Courier-Journal melansir wawancara dengan Clay tentang kunjungannya ke New York. “Tentu saja saya bicara dengan kelompok Islam,” katanya mengaku. “Dan saya akan kembali lagi. Saya menyukai orang-orang Islam. Saya tidak akan mati-matian memaksa diri saya masuk dalam suatu kelompok bila mereka tidak menghendaki saya. Saya menyukai hidup saya. Integrasi itu salah. Masyarakat kulit putih tidak menginginkan persatuan. Saya tidak percaya hal itu bisa dipaksakan, demikian juga orang-orang Islam. Jadi, apa yang salah dengan kelompok Islam?”
Pada tanggal 7 Februari 1964, 18 hari sebelum pertarungannya dengan sang juara kelas berat Sonny Liston, artikel di Miami Herald mengutip ucapan ayah Clay, Cassius Clay Sr.: “Anak saya bergabung dengan Black Muslims.”
Dan inilah pengakuan Muhammad Ali sendiri: “Saya mendengar perihal tentang Elijah Muhammad pertama kali di Turnamen Golden Gloves di Chicago (1959). Kemudian, sebelum saya berangkat ke Olimpiade, saya melihat koran yang diterbitkan oleh Nation of Islam, Muhammad Speaks. Saya tidak begitu memperhatikannya, meskipun banyak hal mampir di benak saya.
Ketika saya dewasa, pemuda kulit hitam bernama Emmett Till dibunuh di Mississippi karena menyuiti seorang wanita kulit putih. Emmet seumur dengan saya. Mereka menangkap para pembunuhnya, tapi tidak diapa-apakan. Kejadian seperti ini berulang terus. Dan dalam hidupku, ada tempat-tempat di mana saya tidak bisa masuk, tempat-tempat di mana saya tidak bisa makan. Saya memenangi medali untuk Amerika Serikat di olimpiade, dan ketika saya pulang ke Louisville, toh saya tetap diperlakukan sebagai Negro. Sejumlah restoran tak mau melayani saya. Beberapa orang tetap memanggil saya boy.
Kemudian di Miami (pada tahun 1961), ketika saya latihan, saya bertemu dengan pengikut Elijah Muhammad bernama Kapten Sam. Ia mengundang saya ke pertemuan, dan setelah itu hidup saya berubah. Selama tiga tahun, sampai saya bertarung melawan Sonny Liston, saya sering menyelinap ke pertemuan Nation of Islam lewat pintu belakang. Saya tak mau orang tahu bahwa saya di sana. Saya takut bila mereka tahu. Bisa-bisa saya tak diizinkan bertarung untuk merebut gelar juara. Belakangan saya belajar berani berdiri di atas keyakinan saya sendiri.
Waktu itu keyakinan saya telah berubah. Saya tidak percaya pada Tuan Yakub dan pesawat ruang angkasa lagi. Nurani dan jiwa tidak berwarna. Saya tahu itu juga. Elijah Muhammad orang baik, meskipun ia bukan utusan Tuhan, kami anggap ia seorang utusan. Jika kamu lihat persoalan kelompok kami saat itu, kebanyakan dari kami tidak punya rasa percaya diri. Kami tidak punya bank dan toko. Kami tidak punya apa-apa meski telah tinggal di Amerika ratusan tahun. Elijah mencoba mengangkat kami dari got.
Ia mengajari orang berpakaian yang pantas, hingga tidak kelihatan seperti pelacur atau germo. Ia mengajari cara makan yang baik, dan bagaimana menjauhi alkohol dan obat bius. Saya rasa ia salah ketika bicara tentang iblis putih, tapi sebagian yang dilakukannya membuat kami merasa nyaman sebagai kulit hitam. Jadi, saya tak menyesali yang saya yakini sekarang ini. Saya lebih bijaksana kini, tapi juga banyak orang lain.”
Selama tahun 1961, Kapten Sam Saxon menjadi pemain tetap di tempat latihan Fifth Street. Ia tampak mendampingi Clay dalam perjalanan ke luar kota. Kemudian, awal tahun 1962, Jeremiah Shabazz menyediakan koki muslim untuk memastikan bahwa makanan si petinju sesuai dengan aturan makan Nation of Islam. Di penghujung tahun itu, tanpa diketahui oleh pers, untuk pertama kalinya Clay pergi dari Miami ke Detroit untuk mendengarkan pidato Elijah Muhammad dalam sebuah pertemuan massa. Perjalanan itu bertambah penting karena di Detroit Clay bertemu dengan Malcolm X.
Sebelum 25 Februari 1964, tampaknya hampir segala yang dilakukan Cassius Clay sesuai dengan konteks membangun nilai-nilai kulit putih. Ia bukan kulit putih, tapi ia “yang terbaik setelah itu”. Tinggi, ganteng, jenaka, menarik: seorang pemuda baik-baik yang punya ambisi kuat dalam hidupnya untuk menjadi orang kaya dan juara tinju kelas berat dunia. Beberapa orang menduga jika Clay melihat wajahnya sendiri di kaca ia akan bergumam “I’m so pretty,” seperti syair permulaan sebuah lagu yang temanya adalah “hitam itu indah”. Memang, pada awal Maret 1963, majalah Ebony menyatakan bahwa “Cassius Marcellus Clay adalah sebuah ledakan kebanggaan rasial. Dia adalah kebanggaan itu sendiri yang tak pernah mengenakan topeng kulit yang diputihkan dan rambut palsu. Kebanggaan yang hangus oleh kenangan berjuta anak-anak berwarna.”
Namun, Ebony adalah majalah orang kulit hitam dengan pembaca terbatas, dan pendapatnya segera tenggelam dari cakrawala Amerika. Bagi orang Amerika kulit putih, Clay bagaikan mainan yang agaknya bisa diapkir segera setelah nilai hiburannya memudar. Tapi kemudian persoalan mulai menjadi rumit. Suatu pagi, setelah kemenangannya melawan Sonny Liston, juara baru itu muncul di konperensi pers di pantai Miami.
Ya, ia gembira menjadi juara kelas berat. Tapi tidak, ia tidak terkejut muncul sebagai pemenang. Ia mencundangi Liston semata karena ia petinju yang lebih baik. Untuk pertama kali dalam sejarahnya sebagai petinju, suaranya melunak. “Saya akan berterus terang,” katanya pada pendengarnya. “Yang harus saya lakukan adalah menjadi seorang lelaki baik yang bersih.” Kemudian muncul pertanyaan ini: “Apakah Anda pemegang kartu anggota Black Muslims?”
“Pemegang kartu? Apa maksudnya?” sahut Clay. “Saya percaya pada Allah dan perdamaian. Saya tidak mencoba melangkah masuk ke rumah tetangga yang kulit putih. Saya tidak ingin kawin dengan wanita kulit putih. Saya dibaptis ketika berumur 12 tahun, tapi saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saya bukan Kristen lagi. Saya tahu ke mana tujuan saya, dan saya tahu kebenaran, dan saya tidak harus menjadi seperti yang kalian inginkan. Saya bebas melakukan yang saya kehendaki.”
Pernyataan tegas itu sempat membuat orang bungkam. Tapi tampaknya pernyataan itu masih meragukan bagi sementara orang. Maka, pagi berikutnya, di pertemuan pers kedua, Clay berpidato, berusaha menghilangkan keraguan itu: “Sebutan Black Muslims itu datang dari pers. Itu bukan nama yang sah. Nama yang betul adalah Islam. Islam artinya damai. Islam adalah agama, dan 750 juta orang pemeluknya di seluruh dunia. Saya adalah salah satu di antara mereka. Saya bukan seorang Kristen. Saya tidak bisa menjadi Kristen, jika melihat semua orang kulit berwarna yang berjuang untuk menggalang persatuan akhirnya hancur lebur.
Mereka dilempari batu dan digigiti anjing. Gereja mereka diledakkan, dan pelakunya tidak pernah ditemukan. Saya ditelepon setiap hari. Mereka menginginkan saya memberi isyarat. Mereka menginginkan saya masuk ke garis depan. Mereka mengatakan supaya saya mengawini perempuan kulit putih untuk menggalang persaudaraan. Saya tak mau dihancurkan. Saya tak mau hanyut dalam selokan kotor.

Saya hanya ingin bahagia menurut cara saya sendiri. Orang mencap kami sebagai kelompok yang dibenci. Mereka mengatakan kami mau mengambil alih negeri. Mereka mengatakan kami komunis. Itu tidak betul. Pengikut-pengikut Allah adalah orang terbaik di dunia. Mereka tidak membawa-bawa pisau. Mereka tidak memikul senjata. Mereka salat lima kali sehari. Wanita-wanitanya berpakaian yang menutup sampai menyapu lantai dan mereka tidak berzinah. Yang mereka inginkan hanya hidup dalam damai.” (sp/tempo)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perjalanan Muhammad Ali Hingga Menemukan Cahaya Islam"

Posting Komentar